Gizi buruk para balita masih menghantui di republik yang kaya raya
alamnya seperti Indonesia ini. Berita balita yang masuk rumah sakit
karena gizi buruk sering kita dengar, baca dan lihat di media massa.
Gizi buruk disebabkan oleh asupan gizi yang kurang baik, keadaan ini akan
diperparah bila disertai penyakit pada balita.
Gizi buruk
merupakan suatu kondisi dengan nutrisi dibawah standar rata-rata.
Nutrisi berupa protein, karbohidrat serta lemak. Kekurangan gizi
terutama protein menjadi masalah utama yang banyak ditemui di Indonesia.
Kurang
gizi yang berkepanjangan akan mengakibatkan tubuh pendek, perkembangan
otak terganggu serta badan balita menjadi kurus. Dari ketiga hal ini
dapat menentukan status gizi balita. Parameter yang bisa diukur dari
status gizi balita adalah, tinggi badan, lingkar kepala dan berat badan.
Parameter berat badan menurut umur yang sering digunakan di Indonesia.
Makanan
yang mengandung gizi yang paling baik untuk bayi adalah ASI. ASI ( Air Susu Ibu)
mempunyai keunggulan tidak hanya dari segi gizi tapi juga untuk daya
kekebalan tubuh, psikologi serta ekonomi. Dari sisi ekonomi ASI dapat
mengurangi devisa untuk membeli susu formula. Jika semua ibu di Indonesia menyusui,
diperkirakan akan menghemat devisa sebesar kurang lebih Rp 8,5 milyar
untuk membeli susu formula.
Susu formula di pasar sangatlah
banyak, dan harganya pun berfariasi mulai dari puluhan ribu sampai
ratusan ribu. Untuk masyarakat Indonesia yang hidupnya dibawah garis
kemiskinan sangatlah berat kalau harus membeli susu formula. Inilah yang
masih menghantui gizi buruk di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya
inovasi untuk memenuhi kebutuhan gizi balita.
Masyarakat Indonesia
sebagian besar di pedesaan dan sebagian besar dari mereka hidupnya dari
pertanian. Seandainya produksi kedelai nasional mencukupi maka akan
dapat digunakan untuk membuat susu inovasi dari bahan kedelai guna
mengatasi gizi buruk. Atau paling tidak disetiap desa ada yang
memproduksi susu kedelai dari hasil pertanian setempat untuk mengurangi
gizi buruk. Susu kedelai yang halal bisa diproduksi di setiap desa.
Apakah kita bisa mengganti susu formula yang harganya tidak terjangkau
oleh masyarakat dibawah garis kemiskinan dengan susu inovasi dari
kedelai hasil pertanian setempat? Sementara beras saja kita masih impor.
"Susu Inovasi yang Sehat dan Halal Untuk Pertumbuhan Anak"
Total Tayangan Halaman
Selasa, 19 Juni 2012
Sabtu, 02 Juni 2012
UMKM Keberatan Wajib SNI Produk Baru
JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian mengusulkan penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi 21 produk. Sontak, rencana ini mengundang reaksi pelaku industri kecil dan menengah. Mereka mengaku belum siap jika SNI benar-benar diterapkan pada tahun 2011-2012.
Apalagi dari 21 produk baru yang bakal terkena sasaran SNI, banyak yang diproduksi UMKM, antara lain jaket, detergen bubuk, kaca spion, dan baju bayi. "Industri kecil akan langsung mati jika SNI diterapkan tapi mengabaikan kesiapan UMKM," ungkap Ivone Wijaya, pemilik CV Multi Jaya Utama di Sidoarjo yang memproduksi detergen bubuk.
Dia melihat, sampai saat ini banyak industri kecil yang belum siap. Ujungnya, lagi-lagi pengusaha bermodal besar yang bisa mengikuti prosedur dan menikmati untung dengan ketentuan baru itu.
Maklum, pengusaha membutuhkan biaya besar agar produknya bisa mendapat stempel SNI. Selain anggaran administrasi pengurusan SNI, mereka juga harus menambah investasi baru demi mengejar kualitas berstandar SNI.
Sudah begitu, birokrasi dan registrasi SNI berbelit-belit. Ivone mencontohkan, dia sudah hampir setahun mencoba mendapatkan registrasi Departemen Kesehatan untuk produk sabun colek. Sampai saat ini, upayanya masih nihil. "Berbelit-belit," akunya.
Tak hanya Ivone yang gelisah dengan rencana pemberlakuan wajib SNI itu. Dedie Supriadi, pemilik toko Biker, produsen jaket kulit di Garut, Jawa Barat, juga khawatir dengan rencana penerapan SNI bagi produk jaket. Dedi bukan takut kualitas produknya tak sesuai SNI. Dia gelisah apabila penerapan wajib SNI jaket itu akan menjadi ladang baru pungutan liar.
Pemilik usaha perlengkapan bayi dan ibu merek Le Monde, Jackie Ambadar malah mempertanyakan tujuan wajib SNI. "Ini demi meningkatkan kualitas produk atau hanya sekadar memberi pekerjaan rumah?" ujarnya. (Ragil N., Mona Tobing, Handoyo, Gloria Natalia/Kontan)
Apalagi dari 21 produk baru yang bakal terkena sasaran SNI, banyak yang diproduksi UMKM, antara lain jaket, detergen bubuk, kaca spion, dan baju bayi. "Industri kecil akan langsung mati jika SNI diterapkan tapi mengabaikan kesiapan UMKM," ungkap Ivone Wijaya, pemilik CV Multi Jaya Utama di Sidoarjo yang memproduksi detergen bubuk.
Dia melihat, sampai saat ini banyak industri kecil yang belum siap. Ujungnya, lagi-lagi pengusaha bermodal besar yang bisa mengikuti prosedur dan menikmati untung dengan ketentuan baru itu.
Maklum, pengusaha membutuhkan biaya besar agar produknya bisa mendapat stempel SNI. Selain anggaran administrasi pengurusan SNI, mereka juga harus menambah investasi baru demi mengejar kualitas berstandar SNI.
Sudah begitu, birokrasi dan registrasi SNI berbelit-belit. Ivone mencontohkan, dia sudah hampir setahun mencoba mendapatkan registrasi Departemen Kesehatan untuk produk sabun colek. Sampai saat ini, upayanya masih nihil. "Berbelit-belit," akunya.
Tak hanya Ivone yang gelisah dengan rencana pemberlakuan wajib SNI itu. Dedie Supriadi, pemilik toko Biker, produsen jaket kulit di Garut, Jawa Barat, juga khawatir dengan rencana penerapan SNI bagi produk jaket. Dedi bukan takut kualitas produknya tak sesuai SNI. Dia gelisah apabila penerapan wajib SNI jaket itu akan menjadi ladang baru pungutan liar.
Pemilik usaha perlengkapan bayi dan ibu merek Le Monde, Jackie Ambadar malah mempertanyakan tujuan wajib SNI. "Ini demi meningkatkan kualitas produk atau hanya sekadar memberi pekerjaan rumah?" ujarnya. (Ragil N., Mona Tobing, Handoyo, Gloria Natalia/Kontan)
Langganan:
Postingan (Atom)