JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian mengusulkan penerapan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi 21 produk. Sontak, rencana ini mengundang reaksi pelaku industri kecil dan menengah. Mereka mengaku belum siap jika SNI benar-benar diterapkan pada tahun 2011-2012.
Apalagi dari 21 produk baru yang bakal terkena sasaran SNI, banyak yang diproduksi UMKM, antara lain jaket, detergen bubuk, kaca spion, dan baju bayi. "Industri kecil akan langsung mati jika SNI diterapkan tapi mengabaikan kesiapan UMKM," ungkap Ivone Wijaya, pemilik CV Multi Jaya Utama di Sidoarjo yang memproduksi detergen bubuk.
Dia melihat, sampai saat ini banyak industri kecil yang belum siap. Ujungnya, lagi-lagi pengusaha bermodal besar yang bisa mengikuti prosedur dan menikmati untung dengan ketentuan baru itu.
Maklum, pengusaha membutuhkan biaya besar agar produknya bisa mendapat stempel SNI. Selain anggaran administrasi pengurusan SNI, mereka juga harus menambah investasi baru demi mengejar kualitas berstandar SNI.
Sudah begitu, birokrasi dan registrasi SNI berbelit-belit. Ivone mencontohkan, dia sudah hampir setahun mencoba mendapatkan registrasi Departemen Kesehatan untuk produk sabun colek. Sampai saat ini, upayanya masih nihil. "Berbelit-belit," akunya.
Tak hanya Ivone yang gelisah dengan rencana pemberlakuan wajib SNI itu. Dedie Supriadi, pemilik toko Biker, produsen jaket kulit di Garut, Jawa Barat, juga khawatir dengan rencana penerapan SNI bagi produk jaket. Dedi bukan takut kualitas produknya tak sesuai SNI. Dia gelisah apabila penerapan wajib SNI jaket itu akan menjadi ladang baru pungutan liar.
Pemilik usaha perlengkapan bayi dan ibu merek Le Monde, Jackie Ambadar malah mempertanyakan tujuan wajib SNI. "Ini demi meningkatkan kualitas produk atau hanya sekadar memberi pekerjaan rumah?" ujarnya. (Ragil N., Mona Tobing, Handoyo, Gloria Natalia/Kontan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar